Pada
tahun 2005 lalu diterapkannya pilkadal (pemilihan kepala daerah secara
langsung) merupakan event demokrasi yang bermakna dalam sejarah politik
Indonesia. Untuk pertama kali kontestasi kepala daerah dengan pemilihan
langsung oleh rakyat diterapkan setelah lebih separuh abad republik ini
menyatakan kemerdekaan-nya.
Pemilihan
kepala daerah secara langsung sebenarnya merupakan pembuktian salah satu
prinsip good governance, yaitu prinsip partisipasi publik. Publik secara
langsung terlibat dalam proses menentukan keputusan untuk memilih kepala
daerah. terselenggaranya
good gavernance di daerah merupakan jaminan bagi otonomi daerah yang
langgeng dan bermutu.
Demi
mencapai Indonesia yang lebih demokratis, hingga kedaulatan bisa kembali
ditangan rakyat, diadakanlah otonomi daerah, sehingga bisa dilaksanakan pilkada
langsung, seperti yang kita tahu sekarang ini hak rakyat dalam bidang politik bisa di salurkan melalui pemilihan secara
langsung melalui pilkada langsung, namun sekarang ini seakan-akan kedaulatan
ada ditangan partai politik, untuk itu lah diadakan otonomi daerah dan pilkada
langsung, namun naas nya program ini malah di salah gunakan lagi, yaitu untuk
menghambur-hamburkan uang Negara.
Otonomi
adalah hal yang saat ini sangat sulit dihindari oleh Negara seperti Indonesia,
yang mempunyai wilayah luas, penduduk, pulau terbanyak, dan etnis yang banyak,
dengan 203 juta jiwa yag berlatar belakng berbeda, dalam waktu jangka pendek
otonomi bisa menimbulkan banyak gejolak, namun lain hal nya dalam waktu jangka
panjang yang akan menstabilkan kondisi social, politik, serta ekonomi.
Dengan
muncul nya pilkada langsung kelemahan otonomi daerah langsung mencuat
kepermukaan, pilkada langsung yang banyak memakan dana serta sarat akan
konflik, konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri adalah ongkos
yang di bayar untuk pilkada sebut saja ongkos
demokrasi sangat lah mahal, yang artinya bahan untuk penggerak demokrasi
sangatlah tidak seimbang dengan janji-janji kesejahteraan, bukti nya
masyaryarak Indonesia masih berada dibawah garis kemiskinan, bayagkan saja
biaya 50 triliun untuk pilkada di Indonesia, seandainya uang yng sebanyak itu
di beli beras bisa dapeat berapa ton.
Politik
uang dan penyalahgunaan dalam pengeloaan sumber-sumber keuangan Negara sering
di jumpai dalam demokrasi local di Indonesia, memang tak di pungkiri peran uang
sudah merajai politik modern saat ini, seharusnya peran uang dalam politik itu
dapat berdampak sangat baik jika dilakukan secara ketat dan transparan, namun
sekarang peran uang jadi hal yang fatal, dalam pelaksanaan kampanye misalnya,
berbagai macam cara dilakuakan demi menumpuk uang seperti pencucian uang
dilakukan oleh parpol demi memenangkan pemilu.
Seharusnya
pilkada secara langsung dapat menjadi kompetisi politik yang fair dan adil,
juga diharapkan dapat mencegah suatu kelompok tertentu yang mendominasi secara
terus menerus, sehingga kedaulatan benar-benar di tangan rakyat, namun yang
terwujud adalah perpecahan antara masyarakat menjelang pemilihan, selain
perpecahan tersebut para birokrat yang menjadi tim sukses bisa mendapat jabatan
sebagai tindakan balas jasa walaupun kapasitasny di pertanyakan, dengan masuk
nya birokrat (yang masih dipertanyakan kapasitasnya) kedalam birokrasi membuat
birokrasi tidak bisa bekerja secara professional dan independent.
Salah
satu contoh dampak dari pilkada langsung adalah saat salah satu pasangan calon
kepala daerah terpilih atau menang pemilu, maka dengan kewenangan yang dimiliki
bak raja di daerah dia terpilih, dapat mengganti aparatur pemerintahan secara
spontan, sehingga dengan mudah nya menerapkan system kekerabatan atau pun balas
jasa kepada para tim sukses nya pada saat pemilu terdahulu, penggantian aparat
pemerintahan yang sembarangan ini mengakibatkan cacat nya system pemerintahan
di daerah tersebut, yang mana system yang sebelumnya yang telah berjalan harus
diulang lagi karena digantinya aparat yang kapasitasnya masih dipertanyakan
dikarenakan naik nya hanya dari balasa jasa bukan dari kompetensi sendiri,
sehingga timbul lah kecacatan hukum di daerah tersebut.
Dalam
praktek nya, pilkada langsung selalu membawa permasalahan, mulai dari masalah
teknis sampai aksi kekerasan antar massa dan pengrusakan yang sering dilakukan
oleh massa, dalam masa kampanye banyak terjadi money politik,curi start
kampanye, pengrusakan atribut kampanye, serta pada saat pencoblosan, kasus yang
sering terjadi seperti pemilihan ganda, pemilih yang tidak berhak memilih dan
lain sebagainya.
Realisastis
nya lagi korupsi secara legal dijalankan dalam pemerintahan local melalui
mekanisme pembagian dana bantuan social hingga dana hibah, selain itu dalam
suatu pemerintahan local sudah berkembang suatu dinasti keluarga pemerintahan
yang digunakan untuk menyedot APBD baik dalam bentuk proyek-proyek besar maupun
kecil dari jalur yang ‘resmi’ atau dengan cara penyedotan dana hanya untuk
kepentingan dinasti politik.
Pemilihan
kepala daerah secara langsung sangat bertentangan dengan pancasila
(berita8.com, 30/3/2011) yaitu sila ke-4 yang berbunyi “kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” itu
berarti masyarakat mempunyai perwakilan yaitu DPR/DPRD terkait dengan pemilihan
pemimpin Negara/daerah (presiden/bupati/walikota), pancasila dan UUD1945 tidak
mengatur tata cara pemilihannya, Tata cara pemilihan nya ada di UU yang posisi
nya di bawah pancasila dan UUD 1945, jadi sejatinya tata cara pemilihan
pemimpin tidak ada yang dilanggar, namun pemilihan kepala daerah secara
langsung sangat memboroskan keuangan daerah.
Pancasila
mengajarkan tentang kebersamaan dan kekeluargaan, tidak seperti pilkada
langsung yang bisa saja melahirkan oposisi, dengan adanya pancasila Indonesia
seharusnya tidak mengenal oposisi atau mayoritas-minoritas, karena pancasila
bukan liberal atau komunis, namun pancasila adalah ideology keberamaan dan
kekluargaan.
Ada
baiknya kepala daerah dipilih langsung oleh presiden dan seterusnya ke level
dibawah nya secara bertingkat, dengan menempatkan orang yang ditunjuk,
kemungkinan besar pembangunan bisa berlangsung secara merata, sehingga tidak
ada lagi kepala daerah yang mikir bagaimana cara nya mengeruk kekayaan, kenapa?
Karena tanggung jawab nya langsung ke presiden atau eksekutif satu tingkat di
atasnya, bukan ke partai politik yang mengusungnya. Kalau ada kepala daerah
yang berulah, otomatis presiden yang nunjuk juga bakal kena, sehingga efek
hukuman di pemilu berikutnya juga akan bertingkat.
Dengan
begitu uang buat pemilu bisa dialokasikan untuk pembangunan daerah-daerah
tertinggal, dan fasilitas utntuk rakyat lain nya, bayangkan berapa triliun
rupiah yang bisa dihemat dengan system seperti ini, tentu saja dengan syarat
presiden nya juga harus beres.
Peraturan
yang lebih ketat serta transparan harus lebih ditingkatkan lagi, mengingat
sering nya terjadi kasus politik uang di demokrasi local Indonesia, baik itu
untuk kekayaan pribadi, parpol ataupun keluarga dan kerabat dekatnya, haruslah
adalah sanksi tegas yang diterapkan, serta penataan ulang system demokrasi
Indonesia harus sesegera mungkin dilakukan agar tidak melahirkan
dinasti-dinasti politik yang baru.
Terlepas
dari sekian banyak nya masalah dalam pilkada langsung, demokrasi yang selama
ini menjadi penengah antara otonomi daerah dan keindonesiaan, menjadi tugas
kita untuk memperbaiki proses demokrasi yang procedural ini menjadi demokrasi
yang lebih esensial sehingga akan terdapat banyak nya kebijakan-kebijakan
pemerintah yang menguntungkan rakyat banyak serta memperkuat persatuan antara
daerah di seluruh indonesia.
0 comments:
Post a Comment