Monday, November 18, 2013

Pengaruh otonomi daerah dan pilkada secara langsung


 Pada tahun 2005 lalu diterapkannya pilkadal (pemilihan kepala daerah secara langsung) merupakan event demokrasi yang bermakna dalam sejarah politik Indonesia. Untuk pertama kali kontestasi kepala daerah dengan pemilihan langsung oleh rakyat diterapkan setelah lebih separuh abad republik ini menyatakan kemerdekaan-nya.

Pemilihan kepala daerah secara langsung sebenarnya merupakan pembuktian salah satu prinsip good governance, yaitu prinsip partisipasi publik. Publik secara langsung terlibat dalam proses menentukan keputusan untuk memilih kepala daerah. terselenggaranya good gavernance di daerah merupakan jaminan bagi otonomi daerah yang langgeng dan bermutu.

Demi mencapai Indonesia yang lebih demokratis, hingga kedaulatan bisa kembali ditangan rakyat, diadakanlah otonomi daerah, sehingga bisa dilaksanakan pilkada langsung, seperti yang kita tahu sekarang ini hak rakyat dalam bidang politik  bisa di salurkan melalui pemilihan secara langsung melalui pilkada langsung, namun sekarang ini seakan-akan kedaulatan ada ditangan partai politik, untuk itu lah diadakan otonomi daerah dan pilkada langsung, namun naas nya program ini malah di salah gunakan lagi, yaitu untuk menghambur-hamburkan uang Negara.
Miris memang melihat pilkada langsung yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang ingin menjadi raja-raja di daerahnya,sehingga terciptanya dinasti politik yang menguasai otonomi daerah yang seharusnya digunakan untuk lebih mensejahterakan rakyat, dengan kedaulatan yang rakyat daerah miliki dengan menentukan sendiri masa depan daerah nya, yaitu dengan cara pilkada langsung itu sendiri.


Otonomi adalah hal yang saat ini sangat sulit dihindari oleh Negara seperti Indonesia, yang mempunyai wilayah luas, penduduk, pulau terbanyak, dan etnis yang banyak, dengan 203 juta jiwa yag berlatar belakng berbeda, dalam waktu jangka pendek otonomi bisa menimbulkan banyak gejolak, namun lain hal nya dalam waktu jangka panjang yang akan menstabilkan kondisi social, politik, serta ekonomi.

Dengan muncul nya pilkada langsung kelemahan otonomi daerah langsung mencuat kepermukaan, pilkada langsung yang banyak memakan dana serta sarat akan konflik, konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri adalah ongkos yang di bayar untuk pilkada sebut saja ongkos demokrasi sangat lah mahal, yang artinya bahan untuk penggerak demokrasi sangatlah tidak seimbang dengan janji-janji kesejahteraan, bukti nya masyaryarak Indonesia masih berada dibawah garis kemiskinan, bayagkan saja biaya 50 triliun untuk pilkada di Indonesia, seandainya uang yng sebanyak itu di beli beras bisa dapeat berapa ton.

Politik uang dan penyalahgunaan dalam pengeloaan sumber-sumber keuangan Negara sering di jumpai dalam demokrasi local di Indonesia, memang tak di pungkiri peran uang sudah merajai politik modern saat ini, seharusnya peran uang dalam politik itu dapat berdampak sangat baik jika dilakukan secara ketat dan transparan, namun sekarang peran uang jadi hal yang fatal, dalam pelaksanaan kampanye misalnya, berbagai macam cara dilakuakan demi menumpuk uang seperti pencucian uang dilakukan oleh parpol demi memenangkan pemilu.

Seharusnya pilkada secara langsung dapat menjadi kompetisi politik yang fair dan adil, juga diharapkan dapat mencegah suatu kelompok tertentu yang mendominasi secara terus menerus, sehingga kedaulatan benar-benar di tangan rakyat, namun yang terwujud adalah perpecahan antara masyarakat menjelang pemilihan, selain perpecahan tersebut para birokrat yang menjadi tim sukses bisa mendapat jabatan sebagai tindakan balas jasa walaupun kapasitasny di pertanyakan, dengan masuk nya birokrat (yang masih dipertanyakan kapasitasnya) kedalam birokrasi membuat birokrasi tidak bisa bekerja secara professional dan independent.

Salah satu contoh dampak dari pilkada langsung adalah saat salah satu pasangan calon kepala daerah terpilih atau menang pemilu, maka dengan kewenangan yang dimiliki bak raja di daerah dia terpilih, dapat mengganti aparatur pemerintahan secara spontan, sehingga dengan mudah nya menerapkan system kekerabatan atau pun balas jasa kepada para tim sukses nya pada saat pemilu terdahulu, penggantian aparat pemerintahan yang sembarangan ini mengakibatkan cacat nya system pemerintahan di daerah tersebut, yang mana system yang sebelumnya yang telah berjalan harus diulang lagi karena digantinya aparat yang kapasitasnya masih dipertanyakan dikarenakan naik nya hanya dari balasa jasa bukan dari kompetensi sendiri, sehingga timbul lah kecacatan hukum di daerah tersebut.

Dalam praktek nya, pilkada langsung selalu membawa permasalahan, mulai dari masalah teknis sampai aksi kekerasan antar massa dan pengrusakan yang sering dilakukan oleh massa, dalam masa kampanye banyak terjadi money politik,curi start kampanye, pengrusakan atribut kampanye, serta pada saat pencoblosan, kasus yang sering terjadi seperti pemilihan ganda, pemilih yang tidak berhak memilih dan lain sebagainya.

Realisastis nya lagi korupsi secara legal dijalankan dalam pemerintahan local melalui mekanisme pembagian dana bantuan social hingga dana hibah, selain itu dalam suatu pemerintahan local sudah berkembang suatu dinasti keluarga pemerintahan yang digunakan untuk menyedot APBD baik dalam bentuk proyek-proyek besar maupun kecil dari jalur yang ‘resmi’ atau dengan cara penyedotan dana hanya untuk kepentingan dinasti politik.

Pemilihan kepala daerah secara langsung sangat bertentangan dengan pancasila (berita8.com, 30/3/2011) yaitu sila ke-4 yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” itu berarti masyarakat mempunyai perwakilan yaitu DPR/DPRD terkait dengan pemilihan pemimpin Negara/daerah (presiden/bupati/walikota), pancasila dan UUD1945 tidak mengatur tata cara pemilihannya, Tata cara pemilihan nya ada di UU yang posisi nya di bawah pancasila dan UUD 1945, jadi sejatinya tata cara pemilihan pemimpin tidak ada yang dilanggar, namun pemilihan kepala daerah secara langsung sangat memboroskan keuangan daerah.

Pancasila mengajarkan tentang kebersamaan dan kekeluargaan, tidak seperti pilkada langsung yang bisa saja melahirkan oposisi, dengan adanya pancasila Indonesia seharusnya tidak mengenal oposisi atau mayoritas-minoritas, karena pancasila bukan liberal atau komunis, namun pancasila adalah ideology keberamaan dan kekluargaan.

Ada baiknya kepala daerah dipilih langsung oleh presiden dan seterusnya ke level dibawah nya secara bertingkat, dengan menempatkan orang yang ditunjuk, kemungkinan besar pembangunan bisa berlangsung secara merata, sehingga tidak ada lagi kepala daerah yang mikir bagaimana cara nya mengeruk kekayaan, kenapa? Karena tanggung jawab nya langsung ke presiden atau eksekutif satu tingkat di atasnya, bukan ke partai politik yang mengusungnya. Kalau ada kepala daerah yang berulah, otomatis presiden yang nunjuk juga bakal kena, sehingga efek hukuman di pemilu berikutnya juga akan bertingkat.

Dengan begitu uang buat pemilu bisa dialokasikan untuk pembangunan daerah-daerah tertinggal, dan fasilitas utntuk rakyat lain nya, bayangkan berapa triliun rupiah yang bisa dihemat dengan system seperti ini, tentu saja dengan syarat presiden nya juga harus beres.

Peraturan yang lebih ketat serta transparan harus lebih ditingkatkan lagi, mengingat sering nya terjadi kasus politik uang di demokrasi local Indonesia, baik itu untuk kekayaan pribadi, parpol ataupun keluarga dan kerabat dekatnya, haruslah adalah sanksi tegas yang diterapkan, serta penataan ulang system demokrasi Indonesia harus sesegera mungkin dilakukan agar tidak melahirkan dinasti-dinasti politik yang baru.


Terlepas dari sekian banyak nya masalah dalam pilkada langsung, demokrasi yang selama ini menjadi penengah antara otonomi daerah dan keindonesiaan, menjadi tugas kita untuk memperbaiki proses demokrasi yang procedural ini menjadi demokrasi yang lebih esensial sehingga akan terdapat banyak nya kebijakan-kebijakan pemerintah yang menguntungkan rakyat banyak serta memperkuat persatuan antara daerah di seluruh indonesia.

0 comments:

Post a Comment