Wednesday, April 4, 2012

korupsi dan etika administrasi negara

Dalam era reformasi, banyak “mal pratik” pada tubuh birokrasi yang selama era orde baru terjadi diblejeti satu persatu oleh masyarakat, baik mal-praktek dalam bentuk “korupsi, kolusi, maupun nepotisme” .KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) merupakan tindakan yang menyimpang hukum dan biasanya pada kasus-kasus ini terdapat banyak penyimpangan serta penyelewengan pada law enforcement, hal ini sangat besar kemungkinan pada etika adaministrasi negara dalam revitalisasi manajemen pemerintahan dalam rangka upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia yang tidak sesuai dengan good governance.
Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
  • perbuatan melawan hukum;
  • penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
  • memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
  • merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
  • memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
  • penggelapan dalam jabatan;
  • pemerasan dalam jabatan;
  • ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
  • menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain

Demokrasi
            Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

           

Ekonomi

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.

Kesejahteraan umum negara

Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
            Korupsi telah menjadi denyut nadi dan nafas kehidupan negeri ini, sehingga tidak heran jika popularitas bangsa ini tetap bertahan sebagai bangsa yang terkorup di dunia. Bagaimana tidak, bahwa setiap dimensi sosial telah menjadi ruang terbuka manifestasi serta implementasi dari praktik busuk ini. Korupsi bukan menjadi monopoli bagi penguasa di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif melainkan telah berubah ke arah milik publik secara luas. Dengan kepemilikan secara meluas tersebut membuat korupsi mendapat legalisasi dari masyarakat sehingga upaya pemberantasannya mengalami hambatan dan kesulitan.
            Beberapa unsur dominan yang melekat pada tindakan korupsi. Pertama, setiap korupsi bersumber pada kekuasaan yang didelegasikan (delegated power, derived power). Pelaku-pelaku korupsi adalah orang-orang yang memperoleh kekuasaan atau wewenang dari perusahaan atau negara dan memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan lain. Korupsi mengandung arti bahwa yang hendak diubah atau diselewengkan adalah keputusan-keputusan pribadi yang menyangkut urusan-urusan perusahaan atau negara tadi. Jadi yang menjadi persoalan adalah bahwa akibat-akibat buruk korupsi ditanggung oleh masyarakat, perusahaan atau negara, bukan pelaku korupsi.
            Efek birokratisasi juga merupakan salah satu sumber penyebab korupsi di kebanyakan negara berkembang. Teori Parkinson tentang birokrasi mengatakan bahwa di dalam setiap struktur formal terdapat kecenderungan bagi bertambahnya personil dalam satuan-satuan organisasi. Setiap kali mendapat tugas, biasanya para pejabat akan membentuk satuan-satuan baru atau merekrut orang-orang baru. Ini mengakibatkan membengkaknya birokrasi baik dari segi jumlah satuan maupun jumlah pegawainya (Kumorotomo, 1999 : 208).    
            Permasalahan korupsi tidak hanya berbentuk tunggal melainkan ada keterlibatan baik secara struktural maupun kultural. Struktural karena berhubungan dengan lingkaran kekuasaan dan juga faktor pendukung legal dari kekuasaan tersebut, yaitu partai politik. Bila melakukan runutan maka peran dari partai politik dalam melanggengkan korupsi memiliki signifikansi yang penting. Mengapa, karena para penguasa yang duduk di lingkaran kekuasaan itu terpilih lewat partai politik melalui mekanisme pemilu. Sehingga korelasi yang terbangun menjelaskan ada keterkaitan parpol dengan melestarikan budaya korupsi di tingkatan para elit. Pertanyaannya bagaimana menjelaskan fenomena ini?
            Seperti yang kita pahami selama ini, pemilu merupakan prosedur pemilihan untuk memilih wakil yang menjabat di level birokrasi atau eksekutif maupun legislatif. Dari proses itu, terpilih elit politik yang kemudian akan menjalankan tata pemerintahan. Namun kenyataannya, dalam menjalankan amanah rakyat banyak terjadi penyimpanan di lingkup mereka. Seperti penggelapan uang rakyat, korupsi, money politic. Sehingga sistem yang ada hanya digunakan untuk melegitimasi penyimpangan yang dilakukan. Suap, money politic merupakan jalan sukses menuju kekuasaan, dan jelas pada saat memegang kekuasaan nantinya akan mencari ganti pengeluaran yang pernah digunakan Logikanya, seperti orang berdagang bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan kemudian mencari untung untuk melanjutkan usahanya sekaligus memperkaya diri.
            Reformasi Indonesia mempunyai agenda sendiri, yaitu pemberantasan korupsi, namun bukan nya berkurang, malah memperkkuat dan memperluas korupsi itu sendiri, terlebih lagi dengan adanya system desentralisasi yang malah memperluas korupsi bukan hanya berkisar di pusat saja namun sudah merambat ke daerah-daerah seluruh Indonesia.
            Indonesia dalam menerapkan etika administrasi Negara harus nya bisa menjadi suatu Negara yang memadukan ilmu dan seni manajemen untuk mencapai tujuan yang efektif dan efisien, ibarat dalam sebuah perusahaan, rakyat adalah pemegang saham, lembaga perwakilan rakyat sebagai dewan komisaris, dan presiden adalah top manager nya.
            Dalam memberantas korupsi di Indonesia, penguatan etika terutama dalam birokrasi sangatlah dibutuhkan, upaya pemberantasan korupsi yang bersifat kuratif tersebut harus diperkuat dengan upaya preventif (pencegahan), yaitu dengan meminimalisir penyebab-penyebab terjadinya korupsi. Beberapa tindakan pencegahan korupsi yang perlu mendapat perhatian serius adalah pembentukan integritas bangsa, penerapan good governance dan pelaksanaan reformasi birokrasi. Dari ketiga dimensi tersebut, yang paling krusial dilaksanakan adalah pembentukan integritas bangsa karena sifatnya lebih kepada intangible action dibandingkan dengan penerapan good governance dan reformasi birokrasi. Pembentukan integritas bangsa harus dimulai dari seorang pemimpin, terutama para pemimpin lembaga publik yang menerima mandat dari rakyat untuk menjalankan penyelenggaraan pemerintahan negara.
            Satu contoh  diantaranya adalah kegagalan dalam pemberantasan Korupsi diIndonesia. SBY harus tegas dalam menyelesaikan masalah ini, jangan berhati lembut, namun sekali-kali harus berhati binatang dalam mengeluarkan statemen kepada pelaku-pelaku korupsi agar mereka segang dan sungkam utk melakukan dan mengulangi perbuatan itu. Memang sudah waktunya para pemimpin berlaku tegas dengan bersifat seperti binatang dalam melawan para koruptor, sebab jika hanya kita bersifat manusiawi maka tak akan pernah orang mendengar apa kata kita.?
            Dengan demikian korupsi di Indonesia adalah perbuatan yang tak bermoral dan tak beretika. Jika seorang manusia sudah tidak lagi memiliki etika dan moral, maka manusia itu sama saja dengan binatang. Hanya tampang fisik zahirnya saja dilihat sebagai manusia, namun hati, jiwa dan pikirannya sudah berperangai binatang ibarat manusia versus bin***ng, oleh karena itu dalam memberantas okorupsi di Indonesia sudah saatnya diperlukan gaya kepemimpinan : "Bin***ng versus Bin***ng".
            Karena begitu banyaknya pola perilaku korup yang sudah dianggap biasa sedangkan pemberantasannya sangat sulit, sebagian masyarakat menyikapi korupsi secara permisif. Tetapi yang sering tidak disadari ialah bahwa akibat dari korupsi yang sudah mendarah-daging dalam sistem ekonomi akan sangat buruk. Bukan saja bagi citra birokrasi pemerintah, tetapi bagi bangsa yang bersangkutan. Tidak ada pilihan lagi. Korupsi yang sudah bersifat memang juga harus dilawan secara sistemik juga. Semua elemen masyarakat harus memainkan peranannya dalam mencegah dan memberantas korupsi.  
            Meluasnya korupsi dan masih terpuruknya pembangunan di Indonesia tidak terlepas dari korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di negeri ini. Artikel ini mengajak semua orang untuk kembali ke Etika Publik. Apakah ini berarti bahwa semua harus kembali ke agama dan pengayaan spiritual? Ya, dengan sejumlah persyaratan. Agama memang sejauh ini dipandang hanya dari sisi ritualnya, tetapi bukan substansinya. Etika publik bisa bersumber dari agama, tetapi semua orang harus kembali kepada substansi pokok dari ajaran agama, yaitu budi-pekerti.

0 comments:

Post a Comment