Dalam era reformasi, banyak “mal pratik” pada tubuh
birokrasi yang selama era orde baru terjadi diblejeti satu persatu oleh
masyarakat, baik mal-praktek dalam bentuk “korupsi, kolusi, maupun nepotisme”
.KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) merupakan tindakan yang menyimpang hukum
dan biasanya pada kasus-kasus ini terdapat banyak penyimpangan serta
penyelewengan pada law enforcement, hal ini sangat besar kemungkinan pada etika
adaministrasi negara dalam revitalisasi manajemen pemerintahan dalam rangka
upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia yang tidak sesuai dengan good
governance.
Dari sudut
pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur
sebagai berikut:
- perbuatan melawan hukum;
- penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
- memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
- merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu
terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
- memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
- penggelapan dalam jabatan;
- pemerasan dalam jabatan;
- ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
- menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti
yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi
untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi
dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam
bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan,
sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung
korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan
oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi
yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini
dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Tergantung
dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap
korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai
politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak
legal di tempat lain
Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius
terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi
dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara
menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif
mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi
di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan
publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum,
korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian
prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan
bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi
pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Ekonomi
Korupsi
juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan. Korupsi
juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang
tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian
dari pembayaran ilegal,
ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan
perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi
mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru
muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan
inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan".
Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai
hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi
menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan
mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan
upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek
masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan
lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat
keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga
mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan
tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para
pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika,
adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang
menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar
negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering
benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali
dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya
(meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui
investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas
Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian
modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US
$187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya,
dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya
dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus
Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga
kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama
yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk
menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa
depan.
Kesejahteraan umum negara
Korupsi politis ada di banyak
negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis
berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya
rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus
membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan
perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus
"pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan
besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
Korupsi
telah menjadi denyut nadi dan nafas kehidupan negeri ini, sehingga tidak heran
jika popularitas bangsa ini tetap bertahan sebagai bangsa yang terkorup di
dunia. Bagaimana tidak, bahwa setiap dimensi sosial telah menjadi ruang terbuka
manifestasi serta implementasi dari praktik busuk ini. Korupsi bukan menjadi
monopoli bagi penguasa di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif
melainkan telah berubah ke arah milik publik secara luas. Dengan kepemilikan
secara meluas tersebut membuat korupsi mendapat legalisasi dari masyarakat
sehingga upaya pemberantasannya mengalami hambatan dan kesulitan.
Beberapa
unsur dominan yang melekat pada tindakan korupsi. Pertama, setiap korupsi
bersumber pada kekuasaan yang didelegasikan (delegated power, derived power).
Pelaku-pelaku korupsi adalah orang-orang yang memperoleh kekuasaan atau
wewenang dari perusahaan atau negara dan memanfaatkannya untuk
kepentingan-kepentingan lain. Korupsi mengandung arti bahwa yang hendak diubah
atau diselewengkan adalah keputusan-keputusan pribadi yang menyangkut
urusan-urusan perusahaan atau negara tadi. Jadi yang menjadi persoalan adalah
bahwa akibat-akibat buruk korupsi ditanggung oleh masyarakat, perusahaan atau
negara, bukan pelaku korupsi.
Efek birokratisasi juga merupakan salah satu sumber
penyebab korupsi di kebanyakan negara berkembang. Teori Parkinson tentang
birokrasi mengatakan bahwa di dalam setiap struktur formal terdapat
kecenderungan bagi bertambahnya personil dalam satuan-satuan organisasi. Setiap
kali mendapat tugas, biasanya para pejabat akan membentuk satuan-satuan baru
atau merekrut orang-orang baru. Ini mengakibatkan membengkaknya birokrasi baik
dari segi jumlah satuan maupun jumlah pegawainya (Kumorotomo, 1999 : 208).
Permasalahan
korupsi tidak hanya berbentuk tunggal melainkan ada keterlibatan baik secara
struktural maupun kultural. Struktural karena berhubungan dengan lingkaran
kekuasaan dan juga faktor pendukung legal dari kekuasaan tersebut, yaitu partai
politik. Bila melakukan runutan maka peran dari partai politik dalam
melanggengkan korupsi memiliki signifikansi yang penting. Mengapa, karena para
penguasa yang duduk di lingkaran kekuasaan itu terpilih lewat partai politik melalui
mekanisme pemilu. Sehingga korelasi yang terbangun menjelaskan ada keterkaitan
parpol dengan melestarikan budaya korupsi di tingkatan para elit. Pertanyaannya
bagaimana menjelaskan fenomena ini?
Seperti
yang kita pahami selama ini, pemilu merupakan prosedur pemilihan untuk memilih
wakil yang menjabat di level birokrasi atau eksekutif maupun legislatif. Dari
proses itu, terpilih elit politik yang kemudian akan menjalankan tata
pemerintahan. Namun kenyataannya, dalam menjalankan amanah rakyat banyak terjadi
penyimpanan di lingkup mereka. Seperti penggelapan uang rakyat, korupsi, money
politic. Sehingga sistem yang ada hanya digunakan untuk melegitimasi
penyimpangan yang dilakukan. Suap, money politic merupakan jalan
sukses menuju kekuasaan, dan jelas pada saat memegang kekuasaan nantinya akan
mencari ganti pengeluaran yang pernah digunakan Logikanya, seperti orang
berdagang bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan kemudian mencari
untung untuk melanjutkan usahanya sekaligus memperkaya diri.
Reformasi
Indonesia mempunyai agenda sendiri, yaitu pemberantasan korupsi, namun bukan
nya berkurang, malah memperkkuat dan memperluas korupsi itu sendiri, terlebih
lagi dengan adanya system desentralisasi yang malah memperluas korupsi bukan
hanya berkisar di pusat saja namun sudah merambat ke daerah-daerah seluruh
Indonesia.
Indonesia
dalam menerapkan etika administrasi Negara harus nya bisa menjadi suatu Negara
yang memadukan ilmu dan seni manajemen untuk mencapai tujuan yang efektif dan
efisien, ibarat dalam sebuah perusahaan, rakyat adalah pemegang saham, lembaga
perwakilan rakyat sebagai dewan komisaris, dan presiden adalah top manager nya.
Dalam
memberantas korupsi di Indonesia, penguatan etika terutama dalam birokrasi
sangatlah dibutuhkan, upaya pemberantasan korupsi yang bersifat kuratif
tersebut harus diperkuat dengan upaya preventif (pencegahan), yaitu dengan
meminimalisir penyebab-penyebab terjadinya korupsi. Beberapa tindakan
pencegahan korupsi yang perlu mendapat perhatian serius adalah pembentukan
integritas bangsa, penerapan good governance dan pelaksanaan reformasi
birokrasi. Dari ketiga dimensi tersebut, yang paling krusial dilaksanakan
adalah pembentukan integritas bangsa karena sifatnya lebih kepada intangible
action dibandingkan dengan penerapan good governance dan reformasi birokrasi.
Pembentukan integritas bangsa harus dimulai dari seorang pemimpin, terutama
para pemimpin lembaga publik yang menerima mandat dari rakyat untuk menjalankan
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Satu
contoh diantaranya adalah kegagalan dalam pemberantasan Korupsi
diIndonesia. SBY harus tegas dalam menyelesaikan masalah ini, jangan berhati
lembut, namun sekali-kali harus berhati binatang dalam mengeluarkan statemen
kepada pelaku-pelaku korupsi agar mereka segang dan sungkam utk melakukan dan
mengulangi perbuatan itu. Memang sudah waktunya para pemimpin berlaku tegas
dengan bersifat seperti binatang dalam melawan para koruptor, sebab jika hanya
kita bersifat manusiawi maka tak akan pernah orang mendengar apa kata kita.?
Dengan
demikian korupsi di Indonesia
adalah perbuatan yang tak bermoral dan tak beretika. Jika seorang manusia sudah
tidak lagi memiliki etika dan moral, maka manusia itu sama saja dengan
binatang. Hanya tampang fisik zahirnya saja dilihat sebagai manusia, namun
hati, jiwa dan pikirannya sudah berperangai binatang ibarat manusia versus
bin***ng, oleh karena itu dalam memberantas okorupsi di Indonesia sudah saatnya
diperlukan gaya kepemimpinan : "Bin***ng
versus Bin***ng".
Karena begitu
banyaknya pola perilaku korup yang sudah dianggap biasa sedangkan
pemberantasannya sangat sulit, sebagian masyarakat menyikapi korupsi secara
permisif. Tetapi yang sering tidak disadari ialah bahwa akibat dari korupsi
yang sudah mendarah-daging dalam sistem ekonomi akan sangat buruk. Bukan saja
bagi citra birokrasi pemerintah, tetapi bagi bangsa yang bersangkutan. Tidak
ada pilihan lagi. Korupsi yang sudah bersifat memang juga harus dilawan secara
sistemik juga. Semua elemen masyarakat harus memainkan peranannya dalam
mencegah dan memberantas korupsi.
Meluasnya
korupsi dan masih terpuruknya pembangunan di Indonesia tidak terlepas dari
korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di negeri ini. Artikel ini mengajak semua
orang untuk kembali ke Etika Publik. Apakah ini berarti bahwa semua harus
kembali ke agama dan pengayaan spiritual? Ya, dengan sejumlah persyaratan.
Agama memang sejauh ini dipandang hanya dari sisi ritualnya, tetapi bukan
substansinya. Etika publik bisa bersumber dari agama, tetapi semua orang harus
kembali kepada substansi pokok dari ajaran agama, yaitu budi-pekerti.
0 comments:
Post a Comment